HAM
atau hak asasi manusia sesuai pengertiannya adalah hak dasar yang melekat dan
yang bersifat kodrati dan universal yang dimiliki manusia sejak masih dalam
kandungan kemudian dia lahir hingga hingga ajal menjemputnya dan berfungsi
untuk menjamin kelamgsungan hidupnya. Hak tersebut harus dijaga dilindungi,
dipertahankan baik oleh dirinya sendiri, keluarga orang lain maupun pemerintah.
Pelanggaran Terhadap HAM dapat menimbulkan pidana bagi pelanggarnya baik
pidanannya ringan maupun berat sesuai dengan pelanggaran HAM yang dilakukan.
Pelanggaran HAM yang terjadi di masyarakat memang saat ini menjadi masalah
serius yang harus diperhatikan pemerintah. Karena jika pemerintah tidak secara
tegas turun tangan dalam melaksanakan penegakan HAM, pelanggaran HAM akan terus
timbul dan berkembang dalam masyarakat.
Yang menjadi pokok pembahasan dalam tugas ini adalah pelanggaran HAM yang terjadi pada
Bandara Internasional Lombok (BIL) khususnya pada awal pembangunan bandara
tersebut yang lokasinya berada di Tanak
Awu Kecamatan Pujut Lombok Tengah. Dari
hasil membaca berita di media masa, baik koran televisi maupun internet saya
banyak mendapat terjadinya pelanggaran HAM.
Kejadiannya
Berawal kala rencana pemerintah melalui PT. Angkasa Pura Selaku pelaksana
proyek untuk membangun Bandara
Internasional Lombok (BIL) dengan memanfaatkan tanah warga yang berada dilokasi
pembangunan, dan tentu saja pemerintah membayar tanah dari warga tersebut.
Namun kompensasi pembayaran harga tanah sangat tidak sesuai dengan harga yang
di harapkan oleh warga pemilik tanah
yang sebagian besar adalah petani yang menggantungkan hidup sebagai
petani. Dan juga jika dilihat dari sisi perpajakan, nilai jual objek pajak (NJOP)
yang diberikan oleh pelaksana proyek tersebut sangat rendah. Kondisi diperparah
ketika terjadi kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian lombok tengah
yang di gelar di lahan yang akan dijadikan bandara tersebut pada tanggal 18
september 2005.
Bermula dari acara rapat umum yang dilaksanakan oleh Serikat
Tani NTB yang diikuti pula oleh perwakilan petani-petani dari 26 negara, pada
pukul 11.00 waktu setempat, aparat kepolisian memaksa masuk untuk membubarkan
acara tersebut dengan alasan ijin yang sudah diberikan oleh Mabes Polri telah dicabut
dan dianggap tidak ada. Menanggapi hal tersebut, warga dan peserta aksi menolak
karena pembatalan ijin dari Mabes Polri tersebut dilakukan secara sepihak dan
tanpa adanya konfirmasi sebelumnya kepada warga dan tetap bertahan di lokasi
tersebut. Atas sikap warga tersebut, aparat dengan arogannya dan dengan
persenjataan yang lengkap, menyerbu masuk tempat dilangsungkannya rapat umum,
layaknya mengejar penjahat kelas kakap, aparat bertindak dan menembak secara
membabi buta kearah warga dan petani peserta rapat umum Serikat Tani NTB.
Pada 13 Oktober 2006 tim Komnas HAM dipimpin oleh Komisioner Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, H. Amidhan, bernegosiasi dengan pihak-pihak yang bersengketa agar bersedia dimediasi. Komnas HAM melakukan pertemuan dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kantor Gubernur NTB. Pertemuan itu dihadiri oleh Wakil Bupati Lombok Tengah, Muspida Propinsi NTB dan Kabupaten Lombok Tengah. Perwakilan Direksi PT. Angkasa Pura I (Persero) juga hadir. Pertemuan itu juga dihadiri oleh Polda NTB serta LSM yang menamakan diri Tim Independen. Sementara masyarakat yang meminta mediasi diwakili oleh Serikat Tani (SERTa) NTB.
Pertemuan 13 Oktober 2006 itu tidak memberikan hasil menggembirakan. Pemerintah Provinsi NTB sebagai pengambil kebijakan tertinggi di daerah yang sebelumnya diharapkan memberikan jalan keluar menyatakan menolak kebijakan mediasi. Gubernur mengatakan proses pelepasan hak atas tanah yang menjadi objek sengketa telah selesai dan sah secara hukum. Masyarakat bekas pemilih lahan telah menerima uang ganti rugi dari PT Angkasa Pusat I (Persero) pada 1995. Gubernur menyarankan jalur hukum untuk menyelesaikan persoalan ini. Gubernur NTB dalam sambutan tertulisnya justru menuduh Komnas HAM terpengaruh dan ditunggangi oleh masyarakat dan LSM.
Komnas HAM menilai Gubernur NTB sama sekali tidak mempertimbangkan fakta umum yakni intimidasi saat proses pelepasan hak atas tanah. Saat itu, kekuasaan Orde Baru menggunakan kebijakan represif untuk menghadapi setiap terjadi penolakan atas kebijakan Pemerintah. Dalam kasus di Tanak Awu ini, apabila ada pemilik tanah yang menolak menerima uang ganti rugi maka pembayarannya akan dititipkan melalui PN setempat. Perspektif HAM menilai pelepasan hak atas tanah tersebut adalah pelanggaran HAM. Melihat kenyataan ini Komnas HAM berkesimpulan bahwa upaya mediasi oleh Komnas HAM tidak bisa dilanjutkan karena para pihak tidak bersepakat untuk melakukan mediasi.
Dalam laporannya tertanggal 20 November 2006 yang ditandatangani oleh Ketua Subkomisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Komnas HAM menyatakan menutup kasus sengketa Tanak Awu kecuali para pihak bersedia untuk di mediasi oleh Komnas HAM berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dari hal-
hal yang terjadi diatas saya dapat simpulkan telah terjadi beberapa pelanggaran
HAM
1. Terjadi
pelanggaran hak atas tanah yang berupa
intimidasi dan pemaksaan serta ganti rugi yang diberikan jauh di bawah
NJOP.
2. Pembubaran
paksa rapat umum adalah pelangaran hak berkumpul/berapat.
3. Pemukulan dan penembakan terhadap
warga sipil yang merupakan pelanggaran HAM berat.
Untuk
yang pertama dan kedua msih dikategorikan sebagai pelanggaran HAM ringan Namun
untuk yang nomer 3 adalah termasuk pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur
dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, Pasal 27 UUD 1945, UU Perlindungan HAM, UU Kemerdekaan
Penyampaian Pendapat, KUHAP, dan lain-lain.
Tindakan represif, berupa penembakan
dan pemukulan terhadap warga sipil oleh aparat Polres Lombok Tengah ini
sebenarnya tidak perlu terjadi apabila aparat kepolisian bisa lebih bijak dalam
penanganan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat, khususnya petani yang
lahannya diambil secara paksa untuk proyek pembangunan bandara internasional di
Lombok Tengah.
Hal ini juga menjadi suatu pemikiran bagi kita
bersama apabila nantinya persoalan-persoalan pemaksaan kehendak penguasa yang
ingin mengambil tanah rakyat untuk pembangunan dilegalkan lewat suatu kebijakan
seperti Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005? Tentunya akan banyak memakan
korban dipihak rakyat, khususnya petani yang menggantungkan hidup pada tanah
lahan garapannya. Untuk itu, kedepannya penguasa/pemerintah untuk segera
mengedepankan pendekatan yang persuasif yang menghormati Hak Asasi Manusia
dengan menjauhi segala bentuk kekerasan dalam penyelesaian sengketa
agraria dan menolak Perpres 36 Tahun 2005 yang tidak berpihak kepada rakyat
kecil khususnya petani yang dirugikan
pada hal ini.
*Diambil dari beberapa sumber
*Diambil dari beberapa sumber
0 komentar:
Posting Komentar